Galih Priatmojo
Ilustrasi pengasong di Kawasan Maguwoharjo, Sleman. [Tim grafis Suara.com]

Ada 200 Pedagang yang menggantungkan hidup di Stadion Maguwoharjo

Lebih lanjut, salah satu pedagang minuman dan makanan di dalam Stadion Maguwoharjo, Winardi (61) mengungkapkan, banyaknya pedagang yang berjualan di stadion memang harus di kelola. Beberapa di antaranya memiliki paguyuban pedagang salah satunya, Paguyuban Ayem Tentrem Maguwoharjo.

Pedagang yang biasa berjualan di dalam tribun tergabung dalam paguyuban tersebut. Lebih kurang terdapat 50 pedagang.

Pedagang lainnya biasa berjualan di luar tribun, tepatnya di sisi Timur stadion. Mereka biasa berjualan dengan motor gerobak.

"Jadi ada perbedaan lokasi pedagang. antara di dalam tribun (asongan), luar tribun dan luar pagar stadion," katanya.

Ketua Paguyuban Ayem Tentrem, Kabul (50) menjelaskan, jika ditotal jumlah pedagang yang mangkal di Stadion Maguwoharjo mencapai 200 orang. Namun jumlah tersebut diklaim sudah ada penambahan.

"Di sini memang pedagang berusaha untuk hidup. Lebih kurang ada 150-200 orang, baik yang masuk ke paguyuban maupun tidak," kata dia.

Grafis pengasong di Kawasan Stadion Maguwoharjo, Sleman. [Tim grafis Suara.com]

 

"Ratusan pedagang itu, kami juga mengimbau untuk saling menjaga stadion ini agar tetap kondusif. Sehingga 'sawah' kami di Maguwoharjo tetap menjadi berkah dan bisa menghidupi orang lain di rumah," kata dia.

Nah, pada akhirnya, kisah Kencono, Mujiman, Winardi Kabul merupakan potret betapa sepak bola tanah air begitu krusial bagi kehidupan wong cilik seperti mereka. 

Maka, wajib hukumnya sepak bola Indonesia harus dikelola secara profesional baik dalam penyelenggaraannya maupun manajemennya.

Aksi tipu-tipu di balik pertandingan sudah bukan lagi zamannya. Selain bakal mencederai sportifitas para pelaku olahraga terpopuler sejagad ini, perbuatan itu secara tidak langsung juga bakal 'membunuh' para pengasong dan keluarganya. 

Liputan khas ini ditulis oleh: Muhammad Ilham Baktora

Load More