Rauhanda Riyantama
Kondisi terkini Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, usai tragedi berdarah yang menewaskan ratusan suporter. (Bolatimes.com/Arif Budi S)

Bolatimes.com - Tempikan sorak bergema di segala penjuru Stadion Kanjuruhan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, saat Arema FC berlaga melawan seteru abadinya, Persebaya Surabaya pada pekan ke-11 Liga 1 2022, Sabtu (1/10/2022) malam.

Ahmad Wahyudi bersama istrinya Sulastri, juga ikut larut dalam gemuruh massa Aremania. Bersama mereka, ada ketiga keponakan, menantu, dan cucunya.

Tapi keriaan itu seketika berubah menjadi mencekam saat polisi dan TNI menghalau sejumlah Aremania yang memasuki lapangan hendak bersalaman dengan skuat kesayangannya.

Baca Juga:
Timnas Indonesia U-16 Bantai Guam, Media Vietnam Takjub: Kemenangan Terbesar

Wahyudi yang berusia 40 tahun mengajak sang istri dan semua keluarganya untuk keluar lebih dulu karena situasi mulai tak asyik ditonton.

"Ayo bu, kita keluar saja,” kata Wahyudi, dilansir dari Suara.com.

“Kenapa pak?” jawab Sulastri.

Baca Juga:
Hadapi Indonesia di Perempat Final Piala Asia Futsal 2022, Jepang Perkuat Benteng Pertahanan

“Enggak baik anak kecil lihat kayak begini. Kita keluar saja cari makan, daripada cucu lihat begini,'' timpal Wahyudi.

Sulastri dan lainnya mengikuti langkah Wahyudi menuju tangga ke arah pintu keluar tribun nomor dua belas.

“Bu, pegangan besi biar enggak jatuh,“ kata Wahyudi.

Baca Juga:
Jadwal Perempatfinal Piala Asia Futsal 2022 Hari Ini: Indonesia Lawan Tim Kuat Jepang

Sulastri menuruti perkataan sang suami—usianya sudah masuk kepala lima, tubuhnya tak lagi kuat bila meniti anak tangga.

Dalam waktu bersamaan, Sulastri sempat melihat benda berasap melayang di atas kepalanya. Seketika itu pula matanya terasa perih.

Benda itu gas air mata yang ditembakkan polisi dari pinggir lapangan.

Baca Juga:
Kualifikasi Piala Asia U-17 2023 Digelar Tanpa Penoton, Bima Sakti Tak Masalah

Saking perihnya, Sulastri tak bisa membuka mata. Pada kesempatan terakhir melihat, ia menggamit tangan Wahyudi.

“Pegangan semua, pegangan,” perintah Wahyudi.

Wahyudi berada paling depan, diikuti Sulastri, menantu, cucu, dan ketiga keponakannya.

Dari sekitar tangga, persisnya di tribun nomor 12, Aremania lainnya banyak berteriak ketakutan. Polisi menembaki mereka memakai gas air mata.

Demi menyelamatkan diri, penonton bergegas ke tangga menuju pintu 12, sehingga Wahyudi sekeluarga harus melawan arus massa untuk sampai ke gerbang.

Ratusan orang berdesak-desakan, mencari jalan keluar. Tapi, pintu 12 hanya dibuka satu sisi.

Wahyudi mencari cara agar bisa menyelamatkan keenam anggota keluarganya. Sembari terus berpegangan tangan, mereka menyeruak mendekati pintu.

Sementara dorongan Aremania dari arah belakang semakin kuat. Tak ayal, pegangan Wahyudi dengan keenam keluarganya terlepas.

Sulastri terombang-ambing di tengah massa yang berdesak-desakkan. Ia terdorong ke sana-ke mari oleh suporter yang juga ingin selamat.

Dada Sulastri semakin sesak, kedua matanya tak bisa melihat karena perih. Dalam hati, ia hanya pasrah bila harus mati di pintu 12. Setelahnya, dia tak sadarkan diri.

Ketika siuman, Sulastri justru harus menerima kabar buruk, suaminya tewas. Sementara cucu, menantu, dan ketiga keponakannya berhasil keluar selamat dari stadion.

“Bapak meninggal demi menyelamatkan kami dan cucunya,“ kata Sulastri, Senin (3/10/2022).

Suaranya masih parau. Sulastri bersama belasan penyintas tragedi Kanjuruhan larut dalam kesedihan yang sama di kantor Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, saat mengenang peristiwa tersebut.

Tim Liputan: Yuliharto Simon, Dimas Angga Perkasa, dan Aziz Ramadani

Load More