Galih Priatmojo
lucarne-opposee.fr/net

Sayang, kala itu Timnas Brasil tampil buruk. Mereka takluk atas skuat Matador dengan skor mencolok 3-1. Saat itu Brasil sebetulnya memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalan lewat hadiah pinalti. Sayang, Waldemar de Brito yang mendapat tugas mengeksekusi gagal melesakkan gol.

Kegagalannya mengeksekusi pinalti itu mencatatkan dirinya sebagai pemain pertama yang gagal melesatkan pinalti di Piala Dunia. Di momentum itu pula Brasil untuk pertama kalinya mengalami kegagalan di final Piala Dunia.

Usai Piala Dunia, skuat Selecao melanjutkan tur di Eropa dan Waldemar Brito tidak lagi terpilih pascakegagalannya di Piala Dunia 1934. Meski begitu, menurut RSSSF, bersama Timnas Brasil kala itu Waldemar berhasil mencetak rekor sebagai pemain tersubur dengan torehan 20 gol dalam 18 pertandingan, termasuk hat-trick melawan Sporting Portugal.

Usai terdepak dari Timnas Brasil, Waldemar hijrah ke Argentina. Di negeri Tango, Waldemar de Brito mengawali petualangannya dengan klub San Lorenzo. Di sana ia mendapatkan gaji yang lumayan tinggi.

Mengabdi selama enam tahun bersama San Lorenzo, Waldemar mendapatkan penghormatan. Ia pun mendapatkan julukan "fenomeno" dan "maestro".

Pada tahun 1937, Waldemar de Brito menerima tawaran dari Flamengo, yang untuk pertama kalinya dalam sejarahnya merekrut pemain kulit hitam terbaik di Brasil. Ia berseragam Flamengo dengan sesama pemain kulit hitam lainnya yakni Leonidas, Domingos, dan Fausto.

Bersama Flamingo, Waldemar memenangkan Kejuaraan Carioca 1939, yang pertama untuk klub sejak 1927, sebelum kembali ke San Lorenzo.

Tak berselang lama, dia membuat comeback baru, kali ini di São Paulo, antara 1941 dan 1943. Dia mencetak 21 gol dalam kejuaraan Paulista 1942 dan menemukan mantan rekan setimnya Leonidas tetapi gagal memenangkan gelar.

Di akhir karirnya, ia mengikuti beberapa klub, seperti Fluminense, Portuguesa dan Palmeiras, sebelum bergabung pada tahun 1946 di klub kecil Klub Atletik Bauru.

Takdir Mempertemukannya dengan Pele si Bocah Ajaib

Di Bauru inilah takdirnya menemukan si bocah ajaib Pele dimulai. Pele tiba di Bauru pada usia tiga tahun. Berasal dari Minas Gerais, ayahnya, Dondinho, adalah pemain sepak bola yang memiliki karir cukup cemerlang sebelum akhirnya mengalami cidera di lutut yang didapat saat laga melawan Uruguay di Piala Dunia 1950.

Di Bauru, Dondinho ditawari pekerjaan sebagai petugas pemerintahan setempat di Bauru Athletic Club (BAC). Pada tahun 1954, BAC menciptakan tim pemuda, Baquinho, dan menawarkan jabatan pelatih kepada Waldemar de Brito. Di situlah ia bersua dengan Pele.

Pertemuan tak terduga yang dengan segera akan mengubah nasibnya menjadi legenda sepak bola sepanjang masa. Itu seperti yang dikatakan Pele dalam otobiografinya bertajuk "Hidupku" yang diterbitkan pada 2006 silam.

"Saya percaya bahwa Tuhan mengawasi saya ketika Dia membawa Waldemar de Brito ke dalam hidup saya pada saat yang menentukan ini. Seorang pemain sekaliber itu datang untuk melatih anak-anak di antah berantah? Sulit dipercaya. Namun, dia ada di sana. Dia bahkan sangat antusias menularkan ilmunya tentang seni sepak bola ke anak muda seperti kami," ungkapnya.

Sumber foto: lucarne-opposee.fr/net

Pele baru berusia 14 tahun saat ditemukan pertama kali oleh Waldemar. Waldemar yang melihat potensi besar di dalam diri Pele secara intensif memantau perkembangannya sampai kepergiannya pada tahun 1955.

Suatu ketika, Waldemar de Brito mengirim pesan kepada saudaranya, Petronilho. Ia menyebut bahwa Pele dikaruniai sebuah bakat untuk bermain sepak bola. Ia adalah anak yang sangat potensial dan jauh lebih hebat dari dirinya.

"Saya menemukan seorang pemain yang lebih kuat daripada kami berdua," tulisnya.

Dan nyata prediksi itu benar adanya. Bersama-sama, di bawah kepemimpinannya, Baquinho memenangkan Kejuaraan Junior Brasil dengan mencetak 148 gol dalam 33 pertandingan. Dalam pertandingan melawan Flamenguinho, Baquinho menang 12-1. Pele saat itu menyumbang tujuh gol.

 

Load More