Bolatimes.com - Bagi pecinta sepak bola, khususnya Serie A Italia, siapa yang tidak kenal dengan sosok Arrigo Sacchi.
Ia adalah sosok yang membuat AC Milan meraih era kejayaan di dekade 90-an. Sachi mengungkap bahwa sebagai pelatih, ia tak pernah memilih pemain dari skill.
Terpenting baginya ialah pemain yang dipilihnya memiliki otak moncer.
Pada akhir 1980-an, sepak bola Italia dianggap monoton.
Semua tim bermain dengan pola yang sama, menggunakan libero dan trequartista.
Saat itulah Sacchi datang dan mengguncang dunia sepak bola dengan pendekatan revolusioner—4-4-2 pressing, yang mendominasi lawan tanpa kompromi.
“Saya tidak melihat kaki para pemain, saya melihat kepala mereka,” kata Sacchi seperti dikutip dari destinationcalcio.com
Ia menyebut skuad Milan pada masa itu bukan hanya hebat, tapi juga “affidabili”—andal, dapat dipercaya.
Menurut Sacchi, pemain yang tergabung saat era keemasan AC Milan tak lepas juga dari peran Silvio Berlusconi.
Sacchi menjelaskan bagaimana Berlusconi memberikan kepercayaan penuh, bahkan saat tim ragu dengan metode latihannya yang keras dan berbeda.
“Ketika saya ingin mendatangkan Ancelotti, dokter klub menolaknya karena masalah lutut. Tapi saya katakan pada Berlusconi, ‘Kalau kita rekrut dia, kita akan juara.’ Dan ia menjawab, ‘Anggap saja sudah selesai’,” ungkap Sacchi.
Keyakinan itu terbayar. AC Milan memenangkan Scudetto dan dua Piala Champions, termasuk kemenangan legendaris 5-0 atas Real Madrid di San Siro tahun 1989—yang disebut Sacchi sebagai “sebuah karya seni.”
Sacchi dikenal sebagai musuh posisi “No.10”—peran kreatif yang sangat dicintai di Italia.
Ia mendorong sistem kolektif di atas individualitas.
Akibatnya, pemain-pemain seperti Roberto Baggio dan Gianfranco Zola tersingkir dari klub-klub top.
“Sepak bola bukan soal individu. Ini tentang pemain yang saling membantu dan bermain untuk sistem,” tegasnya.
Meski begitu, ia secara paradoks juga menyatakan: “Sepak bola adalah permainan yang dibuat oleh pemain.”
Tapi jelas, hanya jika mereka patuh pada sistem.
Sacchi mungkin tak selalu dicintai oleh semua pemain atau penggemar, tapi pengaruhnya pada sepak bola tak terbantahkan.
Ia mengubah arah permainan modern, mempengaruhi generasi pelatih berikutnya seperti Pep Guardiola, dan menjadikan sistem sebagai pusat dari segalanya.
“Kami ingin mendominasi pertandingan. Jika kami punya bola, Maradona tidak akan bisa berbuat apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum.
Kontributor: M.Faqih
Berita Terkait
-
Alvaro Morata Resmi Gabung Como: Siap Hancurkan Pertahanan Serie A
-
Transfer Fantastis! Malick Thiaw Gabung Newcastle dengan Harga Selangit
-
Kiper Timnas Indonesia Emil Audero Kedatangan Rekan Baru, Eks AC Milan
-
AC Milan Dihajar Chelsea 4-1, Allegri Tetap Tenang: Bukan Bencana!
-
Fabio Capello Murka kepada AC Milan dan Inter, Ada Apa?
-
Pemain Keturunan Indonesia Pascal Struijk Tampil Kece Saat Leeds Lawan AC Milan
-
Manchester United Depak Rasmus Hojlund, AC Milan Siap Tampung
-
Mengapa Luka Modric Pilih AC Milan? Petuah Carlo Ancelotti Jadi Kunci
-
Fabio Capello Ungkap Syarat AC Milan Jadi Raja Italia Musim Ini, Apa Itu?
-
Kabar Menyedihkan Legenda AC Milan Franco Baresi: Doa Dipanjatkan Milanisti
Terkini
-
Here We Go! Eks Rekan Ole Romeny Jadi Senjata Baru PSIM Yogyakarta
-
Mario Lemos Kirim Pesan Perang untuk Persib: Kami Tak Akan Mundur!
-
Antonio Conte Sindir PSG Soal Belanja Gila-Gilaan: Kami Pilih Jalan Berbeda
-
Tudor Murka! Bela Mati-Matian Vlahovic dari Ejekan Suporter Juventus
-
Dari Blunder Fatal ke Pahlawan Adu Penalti: Debut Penuh Drama Lucas Chevalier
-
Transfer Fantastis! Malick Thiaw Gabung Newcastle dengan Harga Selangit
-
Debut Langsung Juara! Luca Chevalier Buktikan Depak Donnarumma Keputusan Tepat
-
Lucas Chevalier, Kiper Bergaya Playmaker yang Antar PSG Juara Piala Super Eropa
-
Lucas Chevalier Jadi Pahlawan! PSG Raih Piala Super Eropa Pertama
-
Kamu Akan Dirindukan! Surat Cinta Mohamed Salah untuk Darwin Nunez