Rauhanda Riyantama
Kondisi terkini Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, usai tragedi berdarah yang menewaskan ratusan suporter. (Bolatimes.com/Arif Budi S)

Bolatimes.com - Gate 13 di Stadion Kanjuruhan menyisakan cerita pedih karena di situlah ratusan nyawa melayang usai pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam. Seorang Aremania bernama Eko Arianto mengisahan kondisi sebenarnya saat tragedi tersebut.

Kopi hitam pesanannya belum lagi habis diseruput, ketika Eko Arianto mendengar suara menggelegar dari dalam Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu 1 Oktober 2022.

“Tar… taarr…taaarrr…,'' ujar Eko Arianto, dilansir dari Suara.com.

Baca Juga:
Pesta Gol ke Gawang Guam, Bima Sakti Tak Targetkan Timnas Indonesia U-16 Menang Banyak

Malam belum begitu larut, tapi untuk ukuran pertandingan sepak bola di Indonesia, pukul sepuluh malam sudahlah hilir.

Di dalam stadion, wasit baru saja meniup peluit mengakhiri laga derby klasik Arema Malang vs Persebaya Surabaya. Tuan rumah kalah dengan skor 3-2.

Eko terkesiap. Dia tahu, suara menggelegar itu berasal dari senapan gas air mata yang biasa digunakan polisi kalau antarsuporter terlibat bentrok.

Baca Juga:
Cerita Pedih Seorang Bapak Meregang Nyawa Demi Selamatkan Istri dan Cucunya dari Tragedi Kanjuruhan

Tapi ia bimbang, karena hanya Aremania yang menonton di dalam stadion. Tak ada suporter Persebaya.

Eko sebenarnya sudah membeli tiket untuk menonton di dalam. Tapi malam itu, ia memutuskan tidak melihat langsung di tribun, melainkan minum kopi di warung dekat gerbang nomor 10 stadion.

Rasa penasarannya bertambah, ketika dari pintu dekat warung kopi terdengar suara jeritan orang-orang meminta pertolongan.

Baca Juga:
Timnas Indonesia U-16 Bantai Guam, Media Vietnam Takjub: Kemenangan Terbesar

Eko bergegas mendekat ke pintu tribun 10. Sosok pertama yang tertangkap matanya adalah seorang perempuan lemas.

Di tengah-tengah jeritan minta tolong, perempuan yang lemas itu jatuh pingsan.

“Mas… mas, tolong mas, kami tidak bisa keluar,” teriak seseorang dari dalam gerbang.

Baca Juga:
Hadapi Indonesia di Perempat Final Piala Asia Futsal 2022, Jepang Perkuat Benteng Pertahanan

“Ada gas air mata,” teriak yang lain.

Sejumlah Aremania bergegas menolong orang-orang yang terjebak tak bisa keluar dari pintu nomor sepuluh.

Lega karena sudah ada yang memberi bantuan, Eko mengajak teman-temannya yang lain memeriksa kondisi pintu lainnya.

Setibanya di pintu 13, Eko dihadapkan dengan pemandangan mengerikan. Perempuan, lelaki, bahkan anak-anak yang kesemuanya Aremania berdesak-desakan terperangkap.

Pintu keluar terkunci rapat-rapat. Dari arah lapangan, masih terdengar suara tembakan gas air mata yang ditujukan ke arah mereka.

Sempat ada yang menyuruh mereka ke arah tribun penonton, agar tak berdesak-desakan di depan pintu. Tapi masalahnya, polisi juga menembakkan gas air mata ke tribun. Mereka terjebak.

Di tengah kesesakan, Eko melihat orang-orang yang terjebak berusaha menjebol dinding semen agar bisa keluar dari stadion.

Dengan alat seadanya, Aremania berjuang menjebol dinding tersebut. Eko dan kawannya berinisiatif mencari aparat keamanan di sekitar agar bisa membantu membukakan pintu.

“Pak, tolong pak, banyak yang terjebak di pintu 13. Terkunci, tak bisa keluar,” kata Eko saat bertemu seorang aparat.

Namun, bukannya menolong, aparat berseragam itu justru mencaci-maki Eko.

“Jancok, teman saya juga ada yang kena!” hardiknya.

Aparat itu lantas hendak memukul Eko tapi berhasil ditangkis oleh temannya.

Tak menyerah, Eko berlari kembali menyisir sisi luar stadion untuk mencari pertolongan. Dia akhirnya bertemu anggota pengamanan pertandingan.

Namun, semuanya sudah terlambat. Ketika Eko dan petugas keamanan mendatangi pintu 13, banyak di antara Aremania yang tergeletak tak bernyawa.

Di lantai dekat pintu 13, Eko melihat banyak perempuan dan anak-anak tergeletak bertumpukan, lemas, meregang nyawa.

Eko mendadak terdiam, berhenti memberikan kesaksian tentang malam tragis itu. Tubuhnya melunglai hingga rebah di pangkuan Yuli yang ada di sampingnya.

“Gak kuat aku mas,” tuturnya.

Aremania dari distrik Dau itu menangis meraung-raung. Yuli Sumpil lantas mengusap-usap punggungnya, menenangkan.

“Yang kuat… gak apa-apa, ceritakan saja,” kata Yuli.

Eko dan Yuli hadir sebagai saksi dalam konferensi pers Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan, Malang, Senin 3 Oktober 2022.

Mereka adalah penyintas tragedi Kanjuruhan dua hari sebelumnya, yang mengakibatkan ratusan Aremania meninggal dunia. Tragedi itu bermula dari tembakan gas air mata polisi ke arah tribun penonton.

“Gate 13 itu seperti kuburan massal mas, banyak perempuan dan anak-anak.”

Setelahnya, Eko kembali menangis.

Tim Liputan: Yuliharto Simon, Dimas Angga Perkasa, dan Aziz Ramadani

Load More