Rauhanda Riyantama
Didier Drogba/Twitter

Bolatimes.com - Didier Drogba merupakan salah satu pemain hebat yang lahir dari Afrika. Kehebatannya tak hanya ditunjukkan di atas lapangan, melainkan juga luar lapangan saat menghentikan perang saudara di tanah kelahirannya, Pantai Gading.

Bagi penikmat Premier League awal 2000 an, tentu tak asing dengan sosok Drogba. Ia menjadi salah satu elemen keberhasilan Chelsea merajai sepak bola Inggris.

Drogba mendarat di Chelsea pada 2004 setelah Jose Mourinho lebih memilihnya ketimbang Ronaldinho ataupun penyerang hebatnya yang direkomendasikan Roman Abramovich kala itu.

Baca Juga:
Galak! Antonio Conte Tegur John Terry yang Kebanyakan Makan Biskuit

Meski sempat diragukan di awal, Drogba mampu menjadi kunci keberhasilan Chelsea menjuarai Premier League di tahun 2005, 2006, 2010, 2014 dan juga Liga Champions pada 2012.

Di level internasional, namanya pun harum dengan membawa Pantai Gading untuk pertama kalinya tampil di ajang Piala Dunia yang saat itu dilangsungkan di Jerman pada 2006.

Di 2010, Drogba lagi-lagi mengilhami Pantai Gading menembus Piala Dunia yang diselenggarakan di Afrika Selatan. Semua pencapaian ini membuatnya dicap bak pahlawan oleh negaranya.

Baca Juga:
Eks Ajax Quincy Promes Terancam 3,5 Tahun Penjara karena Tikam Sepupu

Sematan ‘Pahlawan’ itu bukanlah isapan jempol belaka. Apalagi mengingat sepak terjang Didier Drogba yang berhasil menghentikan perang saudara di Pantai Gading.

Pemain Chelsea, Didier Drogba berfoto bersama trofi liga primer Inggris pada tahun 2015 (AFP)

Menghentikan Perang dengan Pidato Luar Biasa

Pada 2005, tim nasional Pantai Gading dihuni oleh pemain-pemain yang punya label generasi emas. Saat itu, Les Elephants dihuni pemain seperti Didier Drogba, Kolo Toure, Emmanuel Eboue dan Didier Zokora.

Baca Juga:
Resmi, Pelatih Keturunan Indonesia Gantikan Gerrard di Rangers

Pemain bintangnya itu semuanya hampir bermain di Premier League. Dengan fakta tersebut, Pantai Gading diharapkan bisa lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Dalam usahanya menembus Piala Dunia untuk pertama kalinya, generasi emas Pantai Gading ini dihadapkan pada musibah kemanusiaan, di mana negaranya tengah dilanda perang saudara.

Perang saudara itu terjadi sejak tahun 2002 di mana Pantai Gading terpecah menjadi dua fraksi dengan pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo di selatan dan pemberontak bernama New Forces of Ivory Coast yang dipimpin Guillaume Soro menguasai daerah utara.

Baca Juga:
Kisah Davide Gualtieri, Pencetak Gol Tercepat Timnas San Marino

Perang saudara ini pecah pada 19 September 2002 dengan adanya serangan pemberontak ke seluruh negeri. Perang ini sempat berakhir pada 2004, namun kembali meningkat pada 2005.

Kondisi di negaranya itu membuat para pemain Pantai Gading berada dalam tekanan mental yang luar biasa. Apalagi saat itu, Les Elephants akan menjalani partai hidup mati melawan Sudan.

Saat itu, Pantai Gading tertinggal satu poin atas Kamerun yang di saat bersamaan akan menghadapi Mesir di babak Kualifikasi Piala Dunia 2006.

Secara matematis, Pantai Gading bisa saja lolos ke Piala Dunia andai menang lawan Sudan dan Kamerun tidak menang atas Mesir.

Dengan kondisi tertekan akibat kondisi negaranya, generasi emas Pantai Gading pun bertanding melawan Sudan demi meraih kemenangan. Singkat cerita, Les Elephants menang 3-1.

Namun kemenangan belum cukup memastikan Pantai Gading ke final. Setelah laga usai, seluruh skuad Les Elephants berkumpul di ruang ganti mendengarkan radio untuk mengetahui hasil Kamerun melawan Mesir.

Didier Drogba saat menerima penghargaan player of the year pada 4 Januari 2018 (Cristina Aldehuela/AFP)

Saat itu, Kamerun sedang imbang 1-1 dengan Mesir. Dan sesaat sebelum laga usai, Kamerun mendapat hadiah penalti di masa Injury Time.

Namun beruntung bagi Pantai Gading, sepakan penalti Pierre Worne hanya membentur tiang kiri gawang Mesir sehingga Kamerun hanya meraih hasil imbang.

Hasil imbang yang diterima Kamerun ini membuat Pantai Gading bersorak. Untuk pertama kalinya mereka berhasil menembus Piala Dunia.

Skuad Pantai Gading pun merayakan keberhasilan ini di kamar ganti. Saat kamera TV masuk ke kamar ganti, seluruh pemain Les Elephants meringkuk dan melingkar dengan merangkul bahu.

Di momen itu, Drogba berdiri dan memegang mikrofon mengeluarkan pidato yang luar biasa untuk seluruh masyarakat di Pantai Gading yang tengah dihadapkan pada perang saudara.

“Pria dan wanita Pantai Gading dari utara, selatan, tengah dan barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan lolos ke Piala Dunia,” bunyi pidato Drogba.

“Satu negara di Afrika dengan begitu banyak kekayaan tidak boleh berperang. Tolong taruh senjata kalian dan adakan pemilihan lagi. Kami ingin bersenang-senang, jadi berhentilah menembak,” lanjut pidato itu.

Keesokan paginya, situasi di Pantai Gading masih sama. Namun pidato Drogba itu terus diulang-ulang di televisi hingga membuat perubahan dan membuat kedua pihak setuju duduk berunding dan melakukan gencatan senjata.

Setelah Piala Dunia 2006, Pantai Gading membuktikan bahwa perdamaian bukanlah hal yang tabu. Hal itu terlihat saat Les Elephants menjalani pertandingan melawan Madagaskar di kandang.

Pantai Gading saat itu tak memilih Abidjan atau ibu kota sebagai tempat pertandingan, melainkan Bouake yang merupakan daerah pusat simbolis pemberontakan.

Di laga itu, Drogba mencetak gol di mana ia merayakannya dan berlari di stadion yang dibarengi masuknya para penonton ke lapangan untuk merayakannya bersama sang pahlawan.

Memang setelahnya Pantai Gading kembali dihadapkan pada perang saudara. Tapi setidaknya Drogba membuktikan ia mampu menghentikan konflik di negaranya lewat sepak bola.

Kontributor: Zulfikar Pamungkas Indrawijaya
Load More