Galih Prasetyo
Tim sepak bola Burundi (Facebook Burundi Football News)

Bolatimes.com - PSSI resmi mengumumkan Timnas Indonesia akan mengadapi Burundi di FIFA Match Day. Pasukan Shin Tae-yong akan dua kali menghadapi Burundi, 25 dan 28 Maret 2023.

"Setelah ditunggu hingga malam ini akhirnya PSSI memutuskan timnas Indonesia akan melawan Burundi dan mereka sudah siap datang ke Indonesia," kata Erick Thohir seperti dikutip dari laman PSSI.

Secara peringkat FIFA, Burundi berada di atas Timnas Indonesia. Buruni di posisi 141 sedangkan Timnas Indonesia ada di peringkat ke-151.

Baca Juga:
Cuma Hadapi Burundi di FIFA Matchday, PSSI Siapkan Strategi Khusus untuk Lobi Calon Lawan di Juni dan September

Ke depannya, Erick Thohir menjanjikan bahwa calon lawan Timnas Indonesia di FIFA Match Day akan dipersiapkan lebih matang.

“Kami sepakati buat agenda uji coba timnas Indonesia pada Juni dan November PSSI memulai negosiasi dengan kandidat negara calon lawan. Kedepan semua sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari,” kata ketum PSSI tersebut.

Burundi jadi lawan yang menarik untuk Timnas Indonesia. Di peringkat FIFA, negara dari Afrika ini berada di atas Indonesia, padahal negara ini selama 15 tahun diamuk perang saudara.

Baca Juga:
Resmi, Cuma Burundi yang Jadi Lawan TImnas Indonesia di FIFA Matchday Maret 2023

Pada rentang waktu 1993 hingga 2008, Burundi alami perang saudara antara eks tentara yang berasal dari suku Tutsi melawan milisi bersenjata dari suku Hutu.

Tentu saja perang saudara tidak hanya memakan korban jiwa tapi juga memorak-porandakan segala sendi kehidupan negara ini termasuk sepak bola.

Banyak pesepak bola Burundi harus tinggalkan tanah air saat perang saudara berkecamuk. Salah satunya Olivier Niyungeko.

Baca Juga:
Hitungan Poin yang Didapat Timnas Indonesia andai Menang Lawan Burundi dan Kenya

Ia adalah mantan pelatih timnas Burundi. Niyungeko harus kabur ke Swedia dan tinggal di sana selama bertahun-tahun. Baru pada 2010, ia kembali pulang ke Burundi.

Tujuh tahun setelah pulang ke Burundi, Niyungeko kemudian ditunjuk menjadi timnas Burundi. Melakoni 18 laga bersama timnas Burundi, ia kemudian dipecat dan saat ini melatih klub Liga Burundi, Bumamuru FC.

Laporan dari Nick Ames dari ESPN yang dirilis pada 2019 menggambarkan bagaimana perang saudara membuat sepak bola Burundi berada di titik nadir.

Baca Juga:
Jelang Bentrok di FIFA Matchday, Berikut 3 Pemain Burundi yang Wajib Diwaspadai Timnas Indonesia

Cerita pelarian dari pesepak bola dan pelatih dari Burundi menggambarkan bagaimana perang saudara di sana membuat sepak bola mati.

Selemani Ndikumana, winger timnas Burundi yang saat ini bermain di Liga Tanzania masih ingat betul saat berondongan senjata menyalak di jalan-jalan kota Burundi saat pecah perang saudara pada 1993.

Saat itu ia masih berusia 6 tahun. Ndikumana masih ingat betul orang-orang tunggang langgang melarikan diri dari rumah mereka membawa barang seadanya. Memilih tinggal di rumah sama dengan bertemu maut.

Ndikumana menyebut bahwa memori kelam itu sangat sulit terhapus dari ingatannya. Hari-hari pertama pecah perang saudara di Burundi kata Ndkimumana ialah sangat, sangat, sangat buruk.

"Mereka akan melihat bentuk hidung Anda dan katakan, 'Kamu orang Tutsi' atau 'Kamu orang Hutu', saya sangat takut. Sekitar jam 5 soe, suara tembakan kembali terdengar," kenang Ndikumana seperti dikutip dari ESPN.

Burundi Pernah Duduki Peringkat ke-93

Meski diamuk perang saudara, Burundi ialah negara dengan talenta sepak bola. Buktinya pada 1993 saat perang saudara pecah, timnas mereka berada di peringkat ke-93.

Ini peringkat tertinggi sepak bola Burundi di rangki FIFA. Bahkan saat itu mereka mampu mengalahkan Ghana, yang notabene adalah salah satu kekuatan sepak bola Afrika.

Menariknya, beberapa jam sebelum perang saudara pecah, timnas Burundi baru menjalani babak play off kualifikasi Piala Dunia 1994. Saat itu, Burundi kalah adu penalti melawan Guinea yang berlangsung di Gabon.

Laga melawan Guinea pada Oktober 1993 jadi pertandingan terakhir timnas Buruni. Dua tahun timnas Burundi tak bermain sepak bola. Baru pada Juni 1996, pemain timnas Burundi kembali bermain.

Pada rentang waktu November 2000 hingga Desember 2004, timnas Burundi hanya melakoni 22 pertandingan. Lawannya negara-negara tetangga mereka. Dari 22 laga itu, Burundi hanya mampu menang satu kali.

Pada 2003, Burundi mendapat kucuran dana sebesar 114 ribu dollar AS dari FIFA. Pelan namun pasti sepak bola Burundi mencoba kembali bangkit.

Salah satu talenta berbakat Burundi yang cukup familiar bagi pecinta Liga Inggris ialah Saido Berahino. Eks striker Stoke City mengaku bahwa konflik di negaranya membuat banyak harapan yang hilang.

Berasal dari negara konflik dan memulai karier di Inggris, Berahino banyak mendapat tantangan berat. Cap negatif pun melekat pada dirinya.

"Banyak orang tidak benar-benar tahu siapa saya di Inggris dan itu mungkin menempatkan saya pada sudut pandang berbeda," ucap pemain yang pernah membela timnas U-20 Inggris tersebut.

Saido Berahino juga korban perang saudara. Sang ayah, tewas mengenaskan saat kekacauan di Bujumbura pada 1993. Ia dan keluarga besarnya akhirnya pindah ke Inggris, saat itu Berahino masih berusia 10 tahun.

Sepak Bola sebagai Alat Politik

Perang saudara yang berkecamuk di Burundi setidak memakan korban jiwa sebanyak 300.000 orang. Pada periode 2003, genjata senjata coba dilakukan oleh pihak yang berkonflik.

Kedua pihak dari suku Tutsi dan Hutu mencoba untuk menghentikan perang caranya dengan menggelar turnamen sepak bola. Pada awal Desember 2003 dihelat pertandingan sepak bola antara mantan milisi Tutsi dan Hutu.

Upaya rekonsiliasi melalui sepak bola ini mendoorng sejumlah pengungsi untuk kembali ke desa-desa mereka. Namun, pada tahun 2005, turnamen ini malah dikuasai oleh elit dari CNDD-FDD, kelompok Hutu.

Rekonsiliasi pun kembali berjalan di tempat dan perang saudara kembali terjadi di Burundi. Namun pada 2005, eks presiden Burundi, Pierre Nkurunziza yang juga seorang gila bola mencoba kembali memakai sepak bola sebagai cara untuk menghentikan perang.

Ia lalu membentuk tim sepak bola amatir bernama Halleluyah FC. Setelah itu pria yang meninggal dunia pada Juni 2020 tersebut mendirikan akademi sepak bola bernama Le Messager FC.

Akademi sepak bola ini dikhususkan untuk anak-anak yang sebelumnya juga terlibat dalam perang saudara. Kompetisi sepak bola pun coba digagas oleh Nkurunziza. Pada 2006, kompetisi ini kemudian disempurnakan dan terus diadakan.

Tidak hanya Nkurunziza, politikus Burundi lainnya, Révérien Ndikuriyo juga gunakan sepak bola sebagai alat untuk meredam konflik bersenjata. Eks ketua Senat Burundi dan pernah jadi ketum PSSI-nya Burundi itu membuat kompetisi sejenis dengan Nkurunziza.

Ia membentuk tim sepak bola bernama Aigle Noir yang artinya tim Elang Hitam dan berbasis di Makamba. Sayangnya kompetisi dan tim sepak bola yang digagas politikus ini ternyata bukan murni untuk jadi alat pereda perang namun untuk memperkuat posisi tawar mereka sebagai politikus.

"Apa yang dilakukan kedua pimpinan partai CNDD-FDD itu dituduh lawan politiknya sebagai murni kepentingan elektoral," tulis laporan Celestin Mvutsebanka di lse.ac.uk pada 28 September 2020.

Sepak bola di Burundi kemudian berubah tidak hanya jadi alat pereda konflik namun juga kepanjang tangan sikap politik partai berkuasa di sana.

Sejumlah program untuk masyarakat di Burundi seperti Pekerjaan Pembengan Masyarakat (TDC) yang digagas Senat di sana murni sebagai keterlekatan politik dengan sepak bola.

"TDC mencakup praktik elit politik untuk membangun fasilitas publik, tidak terbatas fasilitas olahraga, namun bertujun sangat politis,"

Load More